Selasa, 21 Juni 2016

4) BERDAGANG

Bagaimana Saba lima sahabat dapat menjual buah nangka Wak Ondok dengan harga mahal? Lebih mahal daripada harga ijonnya? Bahkan lebih mahal daripada harga pasaran?

Mulanya nangka itu dibungkus dengan melongsong daun kelapa. Tentulah Wak Ondok yang menganyam daun kelapa itu. Diselongsongnya ketika nangka ini masih muda. Sekarang sudah matang. Untuk tidak dimakan tupai. Tidak juga dimakan luwak. Tidak pula ada bubuknya. Nangka itu utuh dan bagus bentuknya. Menyenangkan sekali.

"Harus laku lima ratus!" begitu tekad si Saba.

"Salahmu sendiri!" kecam si Jupri. "Kenapa kau janjikan Wak Ondok beras, ikan asin, dan segala macam. Coba kalau cuma daun nipah dan tembakau, laku tiga ratus juga sudah cukup mewah!"

"Yang aku pernah lihat, sebagus-bagus nangka, paling tinggi harganya cuma dua ratus lima puluh," si Danu memberikan taksirannya.

"Sekarang tidak ada musim buah," bantah Saba keras. "Nangka pasti maju. Dengan seribu satu akal, nangka ini mesti laku lima ratus."

Kawan-kawannya terdiam.

Si Ripin mulai memanjat. Diikatnya tangkai nangka itu dengan tali timba, yang mereka pinjam dari rumah Bang Umar. Lalu si Ripin menutuhnya dengan parang panjang.


Nangka itu tergantung. Saba, Jupri dan Lodan yang memegangi ujung tali timba itu lalu mengulurkannya perlahan-lahan. Nangka itu tiba di tanah tanpa bantingan. Dengan demikian, tidak ada nyonyot sedikit pun.

Mereka menebang sebatang bambu. Tali timba itu kini diganti dengan serat pohon waru. Nangka itu mereka pikul berganti-ganti.

Dibawa ke kedai si Aseng. Cuma ditawar dua ratus. Ditawarkan pula ke warung kopi Mbah Siah. Cuma naik harganya setalen. Tidak mau lebih.

Mereka hampir putus asa.

Lama mereka mencangkung termenung-menung di seberang jembatan timbang. Di sini banyak truk berkumpul sedang dikir. Anak-anak banyak yang jualan kacang rebus, jagung rebus, ubi rebus.

"Tidak satu pun yang jual buah!" selidik si Saba.

"Kita punya buah. Salahnya buah nangka!" kesal si Lodan. "Kalau saja sekarang-sekarang ini kita punya rambutan!"

"Rambutan kepalamu gundul!" olok si Saba.

"Kalau kita punya rambutan ...."

"Ah, sudah jangan mimpi!!" dengus si Saba.

"Benar, kalau rambutan pasti laku keras!" ngotot si Lodan.

"Jual saja rambut ketiakmu!" timpa si Jupri.

Lodan mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan berseru, "Boleh saksikan! Lihat! Ketiakku belum tumbuh rambut!"

Si Lodan memutar ketiaknya ke segala penjuru. Untuk itu si Ripin menutup hidungnya.

"Lodan!" panggil Saba dengan suara tanpa canda.

"Yak, siap, Pak!" sikap si Lodan masih bergurau.

"Pulang ke rumahku! Ambilkan pisau belati!" perintah si Saba.

"Kau mau berkelahi?" si Lodan masih terus berseloroh.

"Cepat! Mau duit, tidak!?" teriak si Saba.

Si Lodan melompat seperti orang terpijak api, lalu berlari menghilang.

"Jupri, Danu! Kalian berdua pergi ke kebunku. Panjatlah kelapa dan turunkan daunnya yang masih hijau sepelepah. Rentas daunnya satu-satu! pelepahnya tinggalkan!"

Jupri dan Danu berangkat tanpa banyak bantah.

"Pin, carilah daun pisang agak sepelepah dua!"

Si Ripin segera pula bertindak. Si Saba jongkok menanti di samping nangkanya.

Si Ripin kembali lebih dahulu dari yang lain dengan dua pelepah daun pisang di kanan kiri tangannya.

Si Lodan muncul dengan pisau belati siap terhunus. Sepanjang jalan dipermainkannya pisau itu seperti orang sedang bersilat.

Si Saba segera menyiangi nangkanya.

Ketika Danu dan Jupri datang membawa daun kelapa yang masih hijau, sudah setengah buah nangka itu dikeluarkan dari seratnya. Danu dan Jupri segera pula tahu, apa yang harus dilakukan selanjutnya. Mereka siapkan lidi penusuk. Ripin dan Lodan segera menyate nangka-nangka yang sudah disiangi.

Dua ratus biji lebih isi nangka itu. Semuanya jadi tiga puluh tusuk; enam nangka setusuk.

Nangka-nangka yang tersayat mereka bagi dan mereka makan bersama-sama.

Sejurus mulailah Ripin dan Lodan mengedarkan nangka itu.

Seorang sopir yang truknya mengunggu dikir, membeli nagka itu empat tusuk. Dua puluh lima perak setusuk!

Akhirnya si Ripin dan Lodan dirubung oleh kernet dan sopir yang bernafsu membeli nangka. Sebentar saja licin tandas.

Ketika dihitung, uang cuma ada tujuh ratus perak. Jadi, ada dua tusuk yang tersilap belum dibayar. Barangkali ada kernet muda yang nakal, sengaja makan tidak mau bayar.

Tak apa! Si Saba sudah cukup gembira. Hasil nangka itu sekarang sudah lebih tinggi daripada taksiran.

Sekarang letih mulai terasa. Lapar dan haus pun datang menggoda. Mereka beli nasi bungkus sambel teri, lima puluh perak seorang. Lalu msing-masing minum segelas cendol, sepuluh perak segelas.

Badan segar kembali. Dengan langkah-langkah riang, mereka menuju ke kedai si Aseng.

Mereka membeli beras harga 115 perak sekilo. Dua ons selar asin harga 60 perak per ons. Satu ons tembakau harga 100 perak dan seikat besar daun nipah harga 30 perak. Uang masih bersisa 35 perak, akan diserahan kepada Wak Ondok.

"Kenyang juga ya? Makan nangka, makan nasi, minum cendol!" lenguh si Lodan.

"Ya, tadinya kau suruh curi saja nangka itu!" dakwa si Danu. "Coba kalau si Saba mau, 'kan kasihan Wak Ondok."

"Ah, aku cuma usul mengambil, bukan usul mencuri!" kelah si Lodan.

"Mengambil tanpa tahu yang punya, itulah mencuri," tukas si Jupri.

"Kalau mencuri tahu yang punya, apa namanya?" meringkel si Lodan.

"Itu namanya merampok! Kau bisa digebukin," dorong si Saba.

Si Lodan terdorong ke arah si Danu. Si Danu mendorong si Lodan ke arah si Jupri. Jupri mendorongnya pula ke arah si Ripin. Ripin jatuh terduduk.

Ia hilang keseimbangan karena tangannya memeluk bungkusan-bungkusan.

"He, he!" teriak si Ripin. "Kalau beras Wak Ondok ini tumpah, kalian semua jadi perampok."

Dengan kesal diletakkannya semua bawaannya ke tanah. Si Ripin lalu melejit menjauh, sambil bersungut-sungut.

Kenalah si Lodan dapat tugas membawa bungkusan-bungkusan yang ditinggalkan si Ripin itu, sampai ke rumah Wak Ondok. Dia tunaikan tugas itu penuh gembira. Riang dan gembira sebagai biasanya watak si Lodan.

oOo

(SERIBU AKAL, hal. 24 - 29)

Cerita 5) Tak Sepenuh Harapan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Monggo..., commenters.. matur ingkang sae ngggih??